Warning: session_start(): open(/home/cakrudin/tmp/sess_2p2fbk9oljj6vq2fq4o3h6otb6, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/cakrudin/integral.sch.id/ikutan/session.php on line 3

Warning: session_start(): Cannot send session cache limiter - headers already sent (output started at /home/cakrudin/integral.sch.id/ikutan/session.php:3) in /home/cakrudin/integral.sch.id/ikutan/session.php on line 3
Puasa Sebelum Rasulullah Saw

Puasa Sebelum Rasulullah Saw

Posted on: 12 July 2020


Banyak buku klasik dan modern yang membahas secara terpadu bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan penuh kemuliaan pada masa Jahiliah dan sangat dikenal oleh berbagai bangsa dan agama terdahulu sebelum Islam datang. Islamlah satu-satunya agama yang mewajibkan puasa sebulan penuh pada bulan itu. Hal itu diperkuat melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 183)


Bangsa Arab terdahulu pada masa Jahiliah memiliki tradisi berpuasa beberapa hari yang dimulai pada pertengahan bulan Sya’ban untuk menyambut musim panas dan sarana mendekatkan diri kepada tuhan mereka. Mereka pun menjadikan musim panas sebagai musim subur dan waktu untuk bercocok tanam. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang berpindah-pindah untuk mengekspresikan bahasa dan kesusasteraan pada saat itu.


Jika kita membaca karya Syekh Baquri tentang kesusasteraan Arab kuno, yang berjudul Ma’as Shaimin, ada catatan yang menjelaskan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliah sebelum Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam diutus, telah mengenal ash-shiyam atau puasa, yang berarti berpindah-pindahnya orang dalam bersyair dan berpantun yang disampaikan oleh kaum muda dari para sesepuhnya. Arti lain dari puasa pada masa itu adalah menahan gerak, baik yang dilakukan oleh hewan, benda mati, maupun manusia. Itulah maksud yang disebutkan dalam budaya bahasa Arab kuno, seperti ungkapan syair berikut ini,


“Kuda yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa yang menebarkan debu, dan kuda dengan tali kekang yang ditarik di mulutnya”


Penyair tersebut membagi tiga macam kuda. Pertama, kuda yang berpuasa di kandangnya dan tidak bergerak. Kedua, kuda yang menebarkan debu sebelum dimulai pertempuran, dan ketiga kuda yang ditarik tali kekangnya untuk masuk ke dalam medan pertempuran.


Ada banyak syair pada masa Jahiliah yang menggambarkan shiyamurrih `puasa angin’. Maksud dari puasa angin adalah tunduk dan tidak bergerak, seperti orang yang mengatakan dalam bait syair shamatis syamsu `matahari berpuasa’. Artinya bahwa matahari itu ada, namun tidak bergeser dari tempatnya karena dalam posisi tegak lurus. Alat katrol digambarkan dengan berpuasa ketika berhenti dan tidak berputar mengeluarkan ember dari dalam sumur. Sebagaimana dikatakan dalam syair,


Seburuk-buruk ember adalah yang terus dipakal; tanpa diganti
Seburuk-buruk alat katrol, jika tidak berfungsi


Artinya adalah bahwa ember kecil yang terus dipakai pemiliknya dan tidak ada pengganti, diumpamakan dengan ember yang buruk dan katrol yang tidak dapat berputar adalah katrol yang buruk, menurut bangsa Arab pada masa Jahiliah.


Orang Arab juga menggunakan kata shiyam untuk tempat berdirinya kuda tanpa melakukan gerakan apa pun. Kata itu juga dipakai pada tempat yang ada di langit, tempat timbulnya bintang kecil bagi orang yang memandangnya, seakan-akan bintang itu tergantung, tidak berubah ataupun hilang, karena dari sudut pandangnya ia tetap di posisinya dan tidak bergerak. Itulah perkataan seorang yang cerdas dalam menggambarkan panjangnya malam. la menggambarkan di dalam syairnya bahwa sekumpulan bintang yang dikenal dengan bintang kecil tetap pada posisinya, tidak bergerak, seakan-akan terikat dengan batu besar dan talinya terbuat dari serabut yang kuat.


Kata as-shiyam disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dari segi bahasa, dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, melalui mulut Maryam a.s.,
“… aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (Maryam: 26)


Puasa dalam ayat itu berarti diam dan menahan diri untuk tidak berbicara. Arti kata tersebut telah dikenal sebelum Islam datang.


Bangsa Arab kuno menyambut Ramadhan dengan unta yang masih produktif sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan ini, sehingga nama yang diambil untuk Ramadhan dalam bahasa Arab berasal dari kata ar-Ramdhu, yaitu hujan yang datang setelah musim kering, sehingga tanah terasa panas terbakar. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kata itu berarti panas yang terik, ketika seseorang mengatakan ramadhat qadamahu, artinya kakinya terbakar karena panas yang terik. Dinamakan begitu agar merasakan haus dan lapar karena panas itu.


Dalam arti lain dikatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena ia membakar dosa dan meleburnya dengan amal saleh. Dikatakan seperti itu karena hati manusia mengambil hikmah dan berpikir tentang kehidupan akhirat. Hal itu juga berarti menyelamatkan diri dari batu gurun dan pasirnya yang panas karena terkena terik matahari.


Ramadhan, menurut penyair Musthafa Abdurrahman berarti bahwa bangsa Arab memendam peralatan perang mereka dan menyembunyikannya di balik batu sebagai persiapan untuk berperang pada bulan Syawwal, sebelum tiba bulan yang diharamkan untuk berperang.


Dalam pandangan Islam, Ramadhan diambil dari kata Ramadha yang berarti `panas terik di musim panas yang menyebabkan panasnya kerongkongan karena kehausan’. Arti tersebut memberikan kejelasan tentang musim yang terjadi pada bulan itu. Bangsa Arab kuno terbiasa memisahkan antara tahun qamariyah dan tahun syamsiah dengan mengambil patokan pada bulan yang telah terlewatkan.


Inilah arti puasa menurut aspek bahasa dan sastra Arab yang berhubungan erat maknanya dengan aspek hukum Islam. Puasa secara syar’i berarti ‘menahan diri dari hal yang membatalkan’, yaitu makan, minum, dan lainnya, yang dibarengi dengan niat sejak terbitnya fajar, hingga matahari terbenam. Kesempurnaan dan kelengkapan ibadah puasa itu adalah dengan menghindari segala larangan dan tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang haram.


Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji dan perbuatannya, maka Allah tidak memiliki keperluan untuk meninggalkan makan dan minumnya.”


Sebelum bangsa Arab kuno mengenal puasa, ada bangsa sebelumnya yang telah mengenal puasa. Hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Mesir kuno yang diikuti oleh bangsa Yunani dan Romawi. Tradisi puasa pun telah dikenal oleh agama lain selain agama samawi, seperti ajaran minyawi, Hindu, dan Budha.(Bersambung)/hidayatullah.com


Dari tulisan Samih Kariyyam dalam buku Indahnya Ramadhan Rasulullah.

Versi cetak


Berita Terkait


Visitors :6008922 Visitor
Hits :8263747 hits
Month :6317 Users
Today : 861 Users
Online : 14 Users






Sekolah Tahfidz





Hubungi Kami

Jl.Kejawan Putih Tambak VI/1 Surabaya, Telp. 031-5928587

Testimonials

  • Soraya Pambudi

    anggada121212@gmail.com

    Surabaya Timur Pakuwon

    Pada 23-Aug-2019


    Assalamualaikum warahamatullahi wabarakatuh. Mohon informasi pendaftaran sekolah untuk tahun ajaran 2020/2021. Mohon maaf apakah sekolah ini mempunyai program kelas internasional? Maksudnya apakah menerima siswa berwarganegaraan Asing?