Syariat Berjilbab dan Paradigma Berfikir
Posted on: 23 November 2017
Kontroversi syariat berjilbab seakan tiada habisnya. Yang kekinian adalah fenomena lepas jilbab seorang public figure. Menjadi trending topics khalayak netizen dan menuai banyak kecaman berbagai pihak.
"Tidak usah berjilbab yang penting hatinya baik, daripada berjilbab tapi hatinya tidak baik". Satu paradigma berfikir yang sering kali kita dengar. Pertanyaannya, "Bagaimanakah mendudukan cara berfikir ini dengan benar?"
Syariat berjilbab merupakan aturan hukum Islam yang bersifat 'dhawahir'. Syariat yang nyata, tampak oleh mata. Bukan bersifat 'sarair', terselubung dalam hati.
Suatu kesalahan besar jika kita berkesimpulan bahwa wanita yang berjibab belum tentu baik. Karena apa? Wanita yang berjilbab untuk menutup aurat, sudah dipastikan baik. Baik dalam artian taat dan patuh kepada syariat.
Megenai niat hati berjilbab, apakah karena mengikuti trend mode, karena riya, karena sumah, dan lain sebagainya, itu berurusan langsung dengan Sang Pencipta.
Karena masalah hati, hanya Tuhan dan sang pelaku yang mengetahuinya dengan pasti. Andaikan manusia dapat menilai hati seseorang, bisa dipastikan penilaiannya hanya bersifat dugaan yang relatif, subyektif, dan variatif.
Adapula cara berfikir, 'wanita yang tidak berkerudung belum tentu tidak baik'. Bagaimana kita menyikapinya?
Wanita yang sudah baligh dan paham hukum tentang aurat, tetapi tidak menutup aurat, sudah bisa dipastikan telah melanggar syariat.
Adakah orang yang merasa baik atau menjadi baik dengan melanggar syariat? Tentu tidak ada. Yang paham hukum kemudian melanggar syariat, bisa dipastikan bukan seorang yang baik. Wallahu alamu bisshowab (Abu Dzaga)