Belajar Takwa kepada Orang Kecil

Posted on: 13 September 2021

Takwa termasuk yang terpenting dalam ajaran Islam. Misal, Allah meminta kita agar menjadikan takwa sebagai bekal dalam menjalani hidup. Misal, kita diwajibkan berpuasa di Ramadhan supaya kita berderajat takwa. Bahkan, lantaran posisinya yang sangat pokok, semua khatib di khutbah Jum’at wajib menyampaikan seruan takwa.



Kita harus menjadi orang yang bertakwa. Ciri-ciri orang bertakwa cukup banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Salah satunya, bisa kita lihat di QS Al-Baqarah [2]: 177. Selanjutnya, insya-Allah menarik jika kita tanya: Siapakah contoh orang bertakwa? Di sepanjang sejarah, tentu sangat banyak kita temui contoh orang bertakwa. Contoh itu mulai dari Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, ulama, dan di kalangan umat Islam pada umumnya.


Untuk orang-orang yang disebut terakhir itu, mari kita seksamai dua kisah yang menggetarkan berikut ini. Kedua kisah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab Ra.


Sebagai salah satu wujud tanggung-jawab seorang Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab Ra rajin berkeliling-pagi, siang, atau malam-untuk memantau keadaan masyarakat yang dipimpinnya. Saat memantau, dia lebih sering menyamar sehingga masyarakat yang ditemuinya tak tahu bahwa yang sedang bersama atau kadang berbincang-bincang dengan mereka itu adalah seorang khalifah bernama Umar bin Khaththab Ra.


Di Mana Tuhan?


Di sebuah malam yang dingin, ketika rata-rata warga Madinah sudah terlelap tidur, Umar bin Khaththab Ra justru keliling kota. Sendirian, malam itu dia berkeliling dalam waktu yang lama, sampai kelelahan. Refleks Umar bin Khaththab Ra berlindung di dekat sebuah rumah, yang teramat sangat sederhana.


Kemudian, tak sengaja Umar bin Khaththab Ra mendengar percakapan antara seorang ibu yang berprofesi sebagai penjual susu dengan anak gadisnya. Hari itu rupanya susu hasil perahan kambing mereka tak banyak, sehingga jika dijual tak cukup untuk membeli berbagai keperluan esok harinya.


“Anakku, campurlah susu itu dengan air,” pinta si ibu. “Bagaimana aku bisa melakukannya, sebab bukankah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Ra telah melarang hal yang demikian,” tolak sang anak gadis. “Orang-orang lain juga mencampurnya. Campurlah, karena siapa yang akan memberi tahu Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Ra tentang hal ini? Bukankah dia tak melihat kita,” desak si ibu.


Baca juga: Beri Jiwamu Kesempatan


“Wahai Ibu, jika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Ra tak melihat, namun Tuhan yang memiliki Amirul Mukminin pasti melihat kita,” terang sang anak dengan lembut. Masya-Allah! Tak kuasa Umar bin Khaththab Ra menahan haru atas performa putri si penjual susu yang kemuliaan akhlaqnya terbangun di atas fondasi aqidah yang kukuh. Allahu-Akbar!


Lalu, bergegas Umar bin Khaththab Ra ke masjid karena subuh sudah masuk. Usai mengimami shalat, Umar bin Khaththab Ra pulang ke rumah. Dia lalu memanggil Ashim, putranya. Umar bin Khaththab Ra meminta Ashim menyelidiki keadaan penghuni rumah yang semalam sempat “disinggahi”-nya.


Setelah melaksanakan amanat, Ashim kembali ke rumah dengan membawa informasi lengkap tentang ibu si penjual susu dan anaknya. Sebaliknya, Umar bin Khaththab Ra menceritakan apa yang didapatnya semalam. “Pergilah Anakku, nikahilah anak gadis itu karena saya lihat dia seorang yang baik dan–semoga-dia akan melahirkan seorang laki-laki yang menjadi pemimpin Arab,” pinta Umar bin Khaththab Ra.


Ashim-pun menikahi gadis miskin namun suci dan mulia itu. Dari rahimnya lalu lahir anak perempuan bernama Laila dan berjuluk Ummi Ashim. Sebagaimana ibunya, Ummi Ashim tumbuh-kembang menjadi wanita shalihah, yang bertaqwa. Lalu, di kemudian hari Ummi Ashim dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Kemudian, dari pasangan inilah lahir Umar bin Abdul Aziz, yang di kemudian hari–saat dia menjadi khalifah-disebut-sebut sebagai Khulafaur-Rasyidin yang kelima setelah Abu Bakar Ra, Umar bin Khaththab Ra, Usman bin Affan Ra, dan Ali bin Abi Thalib Ra.


Di Mana Allah?


Di sebuah kesempatan yang lain, Umar bin Khaththab Ra bertemu dengan seorang hamba sahaya yang bertugas sebagai penggembala kambing. Kala itu, dia sedang menggembalakan banyak kambing. Umar bin Khaththab Ra-pun mengajak si penggembala berdialog, dalam posisi si penggembala tak tahu bahwa yang sedang ada di depannya itu adalah Sang Khalifah.


“Wahai kawan, sudilah jual beberapa kambing untukku,” pinta Umar bin Khaththab Ra. “Maaf, Tuan, kambing-kambing ini tidak saya jual karena semuanya milik juragan saya,” tolak si penggembala dengan santun. “Ayo, juallah kepadaku beberapa ekor. Bukankah juraganmu tak akan pernah tahu jika hewan yang engkau gembalakan berkurang sekadar beberapa ekor lantaran sebegitu banyak gembalaanmu,” desak Umar bin Khaththab Ra.


Baca juga: Lurus Rapatkan Barisan


“Sekali lagi, mohon maaf, saya sedikitpun tak punya hak untuk menjual kambing-kambing yang diamanahkan kepada saya untuk merawatnya,” tegas si penggembala. “Saya memahami alasan engkau. Tapi, bukankah tak ada yang melihat kita? Tak akan ada yang melaporkan perbuatan Anda ke pemilik kambing-kambing ini,” rayu Umar bin Khaththab Ra untuk kali ketiga.


“Fa aina Allah? Lalu, di manakah Allah? Bagaimana dengan pengawasan Allah,” si penggembala menukas dengan tangkas. Masya-Allah! Umar bin Khaththab Ra takjub dengan sikap si penggembala. Umar bin Khaththab Ra menaruh hormat. Lalu, kepada si penggembala, Umar bin Khaththab RA minta dipertemukan dengan sang juragan.


Setelah bertemu, Umar bin Khaththab Ra lalu menebus si penggembala sehingga kini dia menjadi manusia merdeka, tak lagi sebagai hamba sahaya. Umar bin Khaththab Ra kemudian berkata kepada si penggembala: “Lantaran ucapanmu-fa aina Allah-engkau sekarang menjadi manusia merdeka. Semoga kelak–di akhirat-engkau dibebaskan Allah dari siksa neraka karena ucapan itu juga, fa aina Allah.”


Bersama Allah


Allah memang Maha Menepati Janji. “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS Ath-Thalaaq [65]: 2-3). Perhatikanlah, gadis putri penjual susu yang bertakwa lalu diambil sebagai menantu seorang khalifah. Cermatilah, seorang penggembala yang bertakwa mendapat rezeki berupa kebebasan dirinya dari status sebagai hamba sahaya. Dia dapatkan rezeki itu dari arah yang tak terduga.


Dari kisah “Putri penjual susu” dan “Sang penggembala” di atas, di antara pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa takwa adalah sikap untuk selalu berhati-hati agar semua langkah kita benar-benar senantiasa di Jalan Allah. Selalu-lah berbuat kebajikan. Sadarilah, bahwa Allah akan menjadi sebaik-baik Saksi. Maka, jika sudah demikian, adakah keindahan yang melebihi kehidupan kita yang selalu disertai Allah?


Terakhir, dalam hal kebaikan, kita bisa berguru kepada siapa saja. Ketika kita bisa mengambil pelajaran dari kisah “Putri penjual susu” dan “Sang penggembala” di atas, maka sejatinya kita telah berguru kepada “orang kecil” yang ada di sekitar kita. Sungguh, dalam hal takwa, tak ada “orang besar” dan tak ada ”orang kecil”. Semua sama di hadapan Allah.


Oleh: Ust. Anwar Djaelani - Penulis Buku Tingal di www.anwardjaelani.com

Versi cetak


Berita Terkait


Visitors :5944162 Visitor
Hits :8157515 hits
Month :9741 Users
Today : 464 Users
Online : 14 Users






Sekolah Tahfidz





Hubungi Kami

Jl.Kejawan Putih Tambak VI/1 Surabaya, Telp. 031-5928587

Testimonials

  • Soraya Pambudi

    anggada121212@gmail.com

    Surabaya Timur Pakuwon

    Pada 23-Aug-2019


    Assalamualaikum warahamatullahi wabarakatuh. Mohon informasi pendaftaran sekolah untuk tahun ajaran 2020/2021. Mohon maaf apakah sekolah ini mempunyai program kelas internasional? Maksudnya apakah menerima siswa berwarganegaraan Asing?