Warning: session_start(): open(/home/cakrudin/tmp/sess_e25mjqnmleepb4scpnk0e1ugm3, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/cakrudin/integral.sch.id/ikutan/session.php on line 3

Warning: session_start(): Cannot send session cache limiter - headers already sent (output started at /home/cakrudin/integral.sch.id/ikutan/session.php:3) in /home/cakrudin/integral.sch.id/ikutan/session.php on line 3
Beri Jiwamu Kesempatan

Beri Jiwamu Kesempatan

Posted on: 9 September 2021

Salah satu penyakit kronis kita – manusia – adalah adalah tergesa-gesa (QS. Al-Anbiya’: 37; al-Isra’: 11). Ketergesaanlah yang mendorong manusia untuk berpikir pendek dan enggan menimbang masak-masak. Kita selalu merasa sangat sibuk, kekurangan kesempatan, dan tidak punya cukup waktu. Pada akhirnya, segala sesuatu didorong untuk bergerak dalam ritme yang serba terburu-buru.



Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memperingatkan, “Ketenangan itu dari Allah, dan ketergesaan itu dari syetan.” (Riwayat Abu Ya’la, al-Baihaqi dalam al-Kabir, dan at-Tirmidzi, dari Anas. Hadits hasan).


Tentu saja setan sangat berkepentingan membuat manusia selalu terburu-buru agar mudah digelincirkan. Faktanya, sebagian besar manusia modern tidak sempat lagi merenungi kehidupannya. Jangankan untuk memilih merek shampo mana yang akan dibeli, bahkan tokoh mana yang akan dipilih sebagai pemimpin pun tidak lagi ditimbang baik-baik. Semua dilakukan serba kilat.


Ketika keadaan ini terus-menerus berlanjut, mereka akan terbiasa untuk tidak peduli dan mudah lupa. Mereka menjadi tidak peka terhadap isyarat-isyarat dari Allah, dan pada saat bersamaan menjadi permisif serta gampang mengabaikan dosa-dosanya. Mari bertanya sejenak kepada diri sendiri: kapan terakhir kalinya kita mengamati matahari terbit, memperhatikan bulan purnama, atau memandang bintang yang bertaburan di angkasa?


Sedemikian sibukkah kita, sehingga tidak sempat lagi menengok tanda-tanda kebesaran Allah di alam raya, lalu sejenak merenung dan menundukkan hati?Jika ayat-ayat Allah yang tertuang dalam Kitab Suci-Nya pun sudah jarang kita resapi, betapa lalainya kita bila tidak mau pula mentadabburi ayat-ayat-Nya di alam semesta. Dari celah mana lagi cahaya hidayah akan masuk?


Bertafakkur adalah tradisi para Nabi yang telah banyak dilupakan pada zaman kita. Nabi Ibrahim digambarkan mengamati bintang, bulan, dan matahari hingga akhirnya hidayah datang. Beliau kemudian memperingatkan kaumnya, agar tidak mempersekutukan Allah dengan selain-Nya (Qs. Al-An’am: 75-83).


Baca juga: Lurus Rapatkan Barisan


Nabi Muhammad pun diketahui ber-tahannuts di Gua Hira’ sekitar 3 tahun menjelang menerima wahyu. “Tahannuts” artinya beribadah dalam suatu cara tertentu selama beberapa malam. Tafakkur adalah ibadah yang efisien tanpa anggaran dana, namun sangat efektif membangun jiwa. Bila kita belum memiliki cukup uang untuk pergi berhaji atau umrah, tidak usah berkecil hati. Haji memang ibadah yang tak tergantikan oleh selainnya, dan kita wajib melaksanakannya bila telah diberi kelapangan.


Akan tetapi, kita tidak harus menunggu saat-saat bersimpuh di depan Ka’bah untuk merasakan kedekatan dengan Allah. Sebab, kita tidak perlu memesan tiket untuk melihat matahari terbit. Tidak ada biro perjalanan yang harus dihubungi untuk memandang bulan purnama.


Di mana pun kita berada, matahari, bulan dan bintang dapat dilihat. Berhentilah sejenak meski hanya 5 menit, lalu buka hati dan pandanglah ayat-ayat Allah di sekeliling kita. Setelah itu, biarkan Allah sendiri yang menjatuhkan ketenangan dan terapi ruhiyah ke dalam jiwa kita.


Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, ketika mengulas surah al-Muzzamil dan bagaimana Rasulullah melakukan ‘uzlah (menyendiri) di Gua Hira’ sebelum menerima wahyu, Sayyid Quthb menulis:


“Pilihan beliau untuk ber-‘uzlah adalah salah satu rekayasa Allah untuk mempersiapkan diri beliau menerima suatu urusan yang sangat besar yang telah menantinya. Dalam ‘uzlah ini beliau mengasingkan diri, menengok ke dalam dirinya sendiri, membebaskan diri dari hiruk-pikuk kehidupan serta kesibukan-kesibukannya yang remeh-temeh.


Beliau mencurahkan diri untuk (mendengar) bisikan alam semesta, menangkap inspirasi darinya, sebagai penanda atas penciptaan. Ruh beliau bertasbih bersama dengan ruh semesta raya, berpelukan erat dengan seluruh keindahan serta kesempurnaannya, berinteraksi dengan hakikat maha besar, terlatih untuk berinteraksi dengannya dalam suasana penuh pengertian dan pemahaman.


Baca juga: Hidup yang Abadi


Semestinyalah ada sejenak waktu baginya untuk merenung, ber-tadabbur, berinteraksi intensif dengan alam raya berikut hakikat-hakikatnya yang cemerlang. Terbenam lama dalam realitas hidup seringkali menyeret jiwa kepada rasa nyaman, terlelap dalam pelukan hidup, dan tidak akan berusaha mengubahnya.


Adapun melepaskan serta mengasingkan diri darinya … maka kehidupan akan benar-benar bisa terlepas dari belenggu realitas-realitas kecil, kesibukan-kesibukan yang tidak berarti … yang akan membuat sebuah jiwa besar mampu melihat sesuatu yang lebih besar, melatihnya untuk (peka terhadap) perasaan-perasaan (tertentu) dengan segenap kesempurnaan (potensi) dirinya … tidak memerlukan kepada kebiasaan manusia (di sekitarnya) … menyerap sumbernya dari selain kebiasaan yang sudah umum.”


Demikianlah. Sedemikian hebatnya tafakkur itu sehingga Al-Qur’an berulangkali menganjurkan kita untuk melakukannya. Kita dapat menderetkan puluhan ayat dalam tema ini, misalnya Ali ‘Imran: 189-194, ar-Rum: 8-9, Yunus: 24, ar-Ra’d: 1-4, an-Nahl: 10-18, dll.


Saat bulan Ramadhan tiba, sejenak berilah jiwa kita kesempatan. Ibarat mesin yang terus-menerus dipakai, ada masanya untuk mendapat perawatan berkala dalam skala lebih besar dan intensif. Sebenarnya, Allah sudah memberi kita peluang harian untuk merawat jiwa itu, melalui shalat lima waktu. Namun, mari mengingat-ingat kembali, berapa kali kita merasakan shalat yang khusyu’ tanpa terselipi bisikan-bisikan duniawi? Bukankah kita sering mengerjakan shalat dengan cepat karena baru sempat ditunaikan ketika sudah injury time?


Allah juga memberi kita kesempatan mingguan melalui shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah. Akan tetapi, bukankah kita lebih sering datang terlambat atau tertidur pada saat sang khatib menyampaikan nasehat-nasehatnya? Jadi, beri jiwamu kesempatan untuk memperbaharui diri, sebelum rusak dan tidak tertolong lagi! Wallahu a’lam.


Oleh: Ust. Alimin Mukhtar - Pengasuh Pondok Pesantren Arrohmah Hidayatullah Malang

Versi cetak


Berita Terkait


Visitors :6010806 Visitor
Hits :8267286 hits
Month :6496 Users
Today : 926 Users
Online : 7 Users






Sekolah Tahfidz





Hubungi Kami

Jl.Kejawan Putih Tambak VI/1 Surabaya, Telp. 031-5928587

Testimonials

  • Soraya Pambudi

    anggada121212@gmail.com

    Surabaya Timur Pakuwon

    Pada 23-Aug-2019


    Assalamualaikum warahamatullahi wabarakatuh. Mohon informasi pendaftaran sekolah untuk tahun ajaran 2020/2021. Mohon maaf apakah sekolah ini mempunyai program kelas internasional? Maksudnya apakah menerima siswa berwarganegaraan Asing?